Aku ingin bercerita.
Aku pernah benar berada di titik terendah dalam hidupku. Lumayan aneh dan mengejutkan memang. Sebelumnya membayangkan hal itu terjadi pada diri seseorang saja sudah membuatku geli. Lalu aku dipaksa merasakannya? Sumpah, antara ingin muak dan marah.
"Apa ada hal yang lebih buruk dari ini?" tanyaku pada diri sendiri saat itu.
Kuhukum diriku sendiri atas rasa sedih itu. Menangis dan melamun, itulah yang menjadi pelengkap hari-hariku. Sampai aku tak henti bertanya pada diriku, mengapa sesuatu yang tidak berharga itu dapat menghancurkan hidupku? Karena kutahu, aku memiliki semua hal yang tidak dimiliki orang lain.
Berkali-kali kudengar suara yang memintaku untuk bangkit. Aku pun hampir menggapai tangan-tangan yang siap menarikku dari jurang kegelapan. Namun, aku kembali didorong oleh pahit kenyataan dan terhempas begitu saja ke dasar jurang. Pilu yang membiru.
Aku yakin diriku tidak sendiri, aku punya teman-teman yang bersedia menjadi tempatku bersandar dan menerimaku. Mereka selalu menjadi yang terbaik untukku. Mereka menemaniku, menasehatiku, dan memberiku arah menuju jalan pulang. Sayangnya, aku terlalu membenarkan keadaanku saat itu dan membuat mereka lelah.
Kelelahan itu akhirnya membuat mereka menyerah dan bersangsur pergi meninggalkanku.Kepergian merekalah yang motivasi terbesarku untuk bangkit.
Kepada mereka, orang-orang yang telah aku kecewakan, aku menaruh sesal yang besar. Aku sadar bahwa di dunia ini tidak banyak empati yang dapat diberi, tetapi puluhan empati itu malah aku sia-siakan. Ketika semua orang sudah muak, baru aku sadar. Aku telah salah melangkah dan harus memperbaiki semuanya.
Aku pun bangkit. Pelan, pelan, pelan, terhuyung, berjalan, terlempar, terperangkap, terlindas, melangkah, melompat, lari, dan akhirnya mampu menaiki roket kebahagiaan. Hingga jadilah diriku yang sekarang, sosok yang jauh lebih dapat menghargai orang sekitar dan mencoba bahagia.
#30daysjournalingchallenge
#day19
#classicalclover
Posting Komentar
Posting Komentar