Jayaprana begitu
tampan dengan pakaian pernikahan khas Bali, bersama dengan sang istri—Layonsari—yang
berpenampilan bak bidadari di malam pernikahannya. Kedua mempelai turun dari
kereta dan mulai memasuki istana untuk meminta restu kepada Raja. Tawa bahagia
atas cinta yang telah dipersatukan tiada luntur dari keduanya, meski dua insan yang
baru menikah ini tidak saling mengenal sebelumnya.
Layonsari adalah
putri dari Jero Bandawa dari Banjar Sekar, seorang penjual bunga yang Jayaprana
temui di pasar beberapa waktu yang lalu. Atas kecantikan luar biasa yang
dimiliki oleh Layonsari, Jayaprana pun terpikat kepada Layonsari dan
memberitahu Raja jika ia ingin meminang wanita tersebut. Raja yang sebelumnya
memerintahkan Jayaprana memilih satu gadis untuk dinikahi, langsung mengirimkan
surat lamaran atas Jayaprana kepada Jero Bandawa kemudian meminta para perbekel
membangun balai-balai untuk pernikahan mereka.
"Sendika
Baginda Raja, hamba menghadap engkau bersama istri hamba untuk meminta restu. Mohon
restuilah pernikahan kami," ucap Jayaprana sambil menunduk kepada Raja.
Raja menerima
permintaan Jayaprana. "Bangunlah Jayaprana dan Layonsari, aku merestui
pernikahan kalian. Jagalah cinta kalian hingga akhir hayat dan jangan menyerah
atas ujian dalam pernikahan yang akan datang di kemudian hari."
Jayaprana dan
Layonsari bangkit dari posisinya, kedua mempelai ini pun pergi dari hadapan
Raja dan kembali ke rumah Jayaprana untuk melakukan malam pertama pernikahan.
Raja cukup
berjasa dalam hidup Jayaprana, Raja-lah yang menggantikan sosok orang tua
Jayaprana yang telah meninggal karena sebuah wabah penyakit di Desa Kalianget
beberapa tahun silam. Raja sangat menyayangi Jayaprana dan menganggap pemuda
itu sebagai anaknya sendiri.
Raja terkenal
sangat bijaksana dalam memerintah Kerajaan Wanakeling Kalianget, itulah mengapa
para pegawai kerajaan, perbekel, serta rakyatnya sangat mencintai Raja. Semua
yang dilakukan Raja adalah untuk kepentingan rakyatnya. Bagi Raja, kepentingan
rakyat adalah yang utama, hingga Raja tidak sempat memikirkan dirinya sendiri
dengan mencari pengganti sang permaisuri.
Diam-diam Raja
terus memperhatikan tempat Jayaprana dan Layonsari meminta doa restu. Bayangan
kecantikan Layonsari mulai memenuhi isi kepala Raja, hingga membuat sang raja
tidak dapat berpikir dengan waras. Raja akui bahwa wanita pilihan Jayaprana
sangatlah menarik perhatian, kecantikannya tidak pernah Raja temui sebelumnya.
Bahkan kecantikan tersebut tidak seharusnya dipersunting oleh seorang pesuruh
kerajaan, seperti Jayaprana.
"Kecantikannya
benar-benar membuatku terperanah, laki-laki mana pun pasti berhasrat memiliki
istri secantik Layonsari. Hanya saja Jayaprana yang lebih beruntung karena
berhasil mempersuntingnya." Raja bangkit dari singgasana. "Aku adalah
seorang raja, pemimpin dari Kerajaan Wanakeling Kalianget. Apa pun yang aku
perintahkan adalah keharusan yang perlu dituruti dan tidak seharusnya aku
mengalami duka atas kecantikan Layonsari yang telah dipersunting oleh
Jayaprana."
"Perbekel,
tolong beritahu padaku bagaimana caranya aku dapat meminang Layonsari menjadi
istriku," ucap sang prabu kepada para perbekel yang ada di ruang
pertemuan.
Semua perbekel
kaget mengetahui Raja menginginkan Layonsari yang tidak lain merupakan istri
dari Jayaprana.
"Maaf,
Baginda Raja, apabila hamba lancang. Mengapa Baginda menginginkan istri
Jayaprana untuk Baginda persunting, bukankah Baginda Prabu sendiri yang meminta
Jayaprana meminang seorang gadis untuk dijadikan istri?" tanya seorang
perbekel kepada Raja.
"Semua itu
benar, Perkebel. Aku yang telah memerintahkan agar Jayaprana memilih seorang gadis
untuk dipersunting. Namun, tidak kukira bahwa pilihan Jayaprana akan seberkilau
itu. Ketika melihat Layonsari, aku tiada hentinya terpikat pada pesonanya.
Sebisa mungkin aku bersikap biasa di depan Jayaprana untuk menjaga perasaannya.
Akan tetapi, sekarang mataku seperti dibutakan dengan kecantikan Layonsari.
Indah dunia yang kulihat selama ini, tidaklah jauh lebih indah dari Layonsari.
Semua tidak lagi bercahaya, aku mulai tersesat. Hanya dengan memiliki
Layonsarilah yang dapat mengembalikan semua cahaya itu. Jadi, tolong beritahu
padaku bagaimana cara memiliki Layonsari sebagai istriku."
Para perbekel
tidak mengerti mengapa Raja berperilaku demikian hari ini. Menginginkan seorang
wanita yang telah dipersunting orang lain, tentu bukan perilaku seorang Raja.
Kepentingan rakyat yang selalu Raja pentingkan, tidak lagi tercermin pada diri
Raja.
"Baginda
Raja, ketahuilah bahwa di luar sana banyak sekali wanita cantik yang sudi
Baginda persunting. Mereka dengan senang hati mengabdikan dirinya untuk
Baginda. Tidakkah Baginda ingin mengadakan sayembara untuk memilih satu di
antara sekian wanita cantik di luar sana?” usul seorang perbekel kepada Raja.
Raja menolak
usulan tersebut, tidak satu wanita pun yang diinginkannya saat ini selain
Layonsari.
"Ketahuilah,
Baginda. Mempersunting Layonsari adalah hal yang sulit dilakukan karena baru
satu hari Jayaprana menikah dengan Layonsari dan pernikahan tersebut dirayakan secara
besar-besaran. Jika Baginda meminta Jayaprana memberikan Layonsari kepada
Baginda, maka wibawa Baginda akan turun di mata Jayaprana dan sebagian besar
rakyat. Hanya satu cara untuk memenuhi keinginan Baginda, yaitu kematian
Jayaprana." Perbekel lain memberikan satu usulan yang tidak hanya mengagetkan
Raja, tetapi juga para perbekel lainnya.
Satu-satunya
cara untuk memiliki Layonsari sangat mutahil dilakukan, mengingat Raja sangat
menyayangi Jayaprana seperti anaknya sendiri. Raja berusaha menimang usulan
tersebut, tetapi pergolakan batinlah yang didapatkannya. Akhirnya Raja
membubarkan seluruh perbekel ruang pertemuan untuk mengambil keputusan penting.
Meski
melenyapkan Jayaprana merupakan satu-satunya hal yang dapat membuat Raja
berhasil memiliki Layonsari, tetapi itu adalah hal yang sangat berat. Sedikit
banyak Jayaprana berjasa untuk Kerajaan Wanakeling Kalianget dan Jayaprana
telah berhasil mengalahkan banyak musuh untuk kepentingan kerajaan.
"Untuk
memiliki sebuah permata, memang harus ada yang dikorbankan. Maafkan atas
kelancangan bagindamu ini Jayaprana, tetapi aku memang harus memilih satu di
antara dua hal yang sama-sama aku inginkan," ucap Raja, sudah berhasil
mengambil keputusan yang semalaman mengganggu pikirannya.
Raja segera
memanggil Patih Sawunggaling untuk menjalankan rencana pelenyapan Jayaprana.
Semua siasat yang sempat disarankan oleh perbekel, diutarakannya kepada Patih
Sawunggaling.
"Ampun,
Baginda Raja, saya tidak dapat melakukannya. Melenyapkan Jayaprana yang tidak
memiliki salah apa pun, sama saja mengingkari sumpah hamba," tolak Patih
Sawunggaling.
Raja tampak
bersedih atas jawaban Patih, "Ketahuilah, Patih, aku bisa mati jika tidak
berhasil memiliki Layonsari sebagai permaisuri. Aku telanjur menyukai istri
Jayaprana itu, hingga tidak dapat bepikir dengan benar. Jika engkau tidak ingin
melakukannya untuk bagindamu, lakukanlah demi rakyat Wanakeling Kalianget yang
dapat kehilangan pemimpinnya jika engkau tidak segera membinasakan
Jayaprana."
Dengan berat
hati, Patih Sawunggaling menerima perintah Raja untuk melenyapkan Jayaprana.
Siasat yang telah disusun Raja kembali diutarakannya kepada Patih Sawunggaling
dan sang Patih siap menjalankan titah Raja.
***
"Bli,
semalam aku bermimpi ada banjir bandang yang menghanyutkan rumah kita. Tidak
ada yang tersisa akibat bencana tersebut. Aku takut jika mimpi itu adalah
sebuah pertanda bahwa akan ada bencana besar dalam rumah tangga kita. Jadi,
kumohon, jangan pergi ke Teluk Terima, aku takut jika engkau tak pernah
kembali," pinta Layonsari sambil membantu Jayaprana mempersiapkan
barang-barang yang akan dibawanya dalam perjalanan ke Teluk Terima.
"Gek,
ketahuilah bahwa kematian adalah kehendak Sang Hyang Widhi. Di mana pun aku
berada, jika kematianku sudah dekat, aku tidak akan dapat mengelak. Aku paham
akan kekhawatiranmu, tetapi doakan saja jika aku akan baik-baik saja di
sana."
Layonsari tidak
dapat berkata-kata lagi. Perasaannya sungguh tidak enak atas kepergian sang
suami ke Teluk Terima, tetapi tugas dan kewajiban Jayaprana sebagai abdi
kerajaan mengharuskan Jayaprana untuk pergi.
Sewaktu
Jayaprana dipanggil ke istana dan diminta untuk menyelesaikan masalah yang ada
di daerah perbatasan, Jayaprana langsung mengutarakannya kepada sang istri.
Perjalanan tersebut akan dilakukannya bersama Patih Sawunggaling dan beberapa
perbekel.
"Berusahalah
untuk pulang, Bli, apa pun yang terjadi di sana. Aku akan setia
menunggumu hingga engkau kembali. Jika ada hal buruk yang terjadi nanti,
ingatlah bahwa ada aku yang masih sangat membutuhkanmu."
Jayaprana
tersenyum ke arah Layonsari, kekhawatiran istrinya sangat beralasan. Jayaprana
pun mencium kening istrinya dan berjanji bahwa dia akan kembali secepatnya.
***
Hari ini firasat
buruk yang dikhawatirkan Layonsari mulai terlihat nyata. Teluk Terima dalam
keadaan baik-baik saja, tidak ada masalah besar seperti yang dikemukakan oleh
Raja.
Dari arah
belakang, Patih Sawunggaling berusaha menyerang Jayaprana agar Jayaprana dapat dilumpuhkan.
Akan tetapi, Jayaprana terlalu cerdas untuk dapat dilumpuhkan begitu saja. Pria
itu pun membalas serangan sang Patih dan balik melumpuhkannya. Beberapa
perbekel yang ikut menyerangnya pun dapat ia pukul mundur dengan mudah.
"Apa yang
engkau lakukan, Patih? Apa engkau sedang berusaha memperdayaku?" Jayaprana
mematikan tangan Patih Sawunggaling hingga sang Patih tidak dapat memberikan
perlawanan sedikit pun.
Seperti dugaan Patih
Sawunggaling, membinasakan Jayaprana memang tidak mudah. Ilmu Jayaprana yang
lebih tinggi, membuat Patih dapat balik dibinasakan Jayaprana hanya dalam satu
pukulan. "Maafkan aku, Jayaprana, aku tidak bermaksud untuk melenyapkanmu.
Aku hanya melakukan titah dari Raja."
Tubuh Jayaprana
langsung melemas ketika mendengar bahwa Raja ingin melenyapkannya. Segera Jayaprana
melepaskan tangan Patih Sawunggaling yang tadi sengaja ditahannya agar tidak
kembali menyerang. Patih Sawunggaling meringis kesakitan.
Patih Sawunggaling
memberikan sepucuk surat kepada Jayaprana. Jayaprana pun mengambil surat
tersebut dan membacanya lamat-lamat.
Hai, engkau Jayaprana.
Manusia tiada guna.
Berjalan-jalanlah engkau.
Akulah yang memerintahkan membunuhmu.
Dosamu sangat besar.
Kau telah melampaui tingkah raja.
Istrimu sungguh milik orang besar.
Kuambil kujadikan istri raja.
Serahkanlah jiwamu sekarang.
Jangan engkau melawan.
Layonsari jangan kau kenang.
Kuperistri sampai akhir zaman.
Jayaprana
menangis ketika membaca surat dari Raja. Tidak dia sangka bahwa hanya karena
kecantikan Layonsari, Raja tega membinasakannya. Jika dulu Raja begitu arif
ketika mengajarinya bagaimana cara menjadi abdi yang tangguh dalam menumpas
lawan, kini ketangguhan itu tidak lagi Raja inginkan. Kasih sayang Raja kepada
Jayaprana masih belia, entah hilang ke mana. Pelajaran berharga yang selalu
Raja ajarkan kepada Jayaprana, membuat Jayaprana seakan tidak percaya bahwa
nyawanya harus diberikan kepada seseorang yang pernah merawatnya ketika sudah
tidak memiliki orang tua dan keluarga.
"Jika
kematianku adalah keinginan Raja, maka lakukanlah, Patih. Aku siap merenggang
nyawa demi titah Raja, sebagai baktiku kepadanya. Dahulu Raja yang merawatku
dan memberikan pelajaran hidup kepadaku, Raja pula yang membuatku menjadi sosok
yang memiliki tanggung jawab besar pada kerajaan. Sungguh, aku tidak menyangka
jika istriku adalah yang diinginkan. Namun, sekarang aku rela melepaskan
semuanya demi titah Raja.”
Jayaprana
segera mencabut keris saktinya yang sering ia pergunakan untuk membunuh
musuh-musuhnya. Kemudian pria itu menyerahkan keris tersebut kepada Patih
Sawunggaling. "Bunuh aku dengan keris ini dan segera kabarkan kematianku
kepada istriku agar ia tidak menunggu kepulanganku terlalu lama. Aku telah
berjanji untuk kembali padanya secepat mungkin, tetapi titah Raja adalah hal utama
yang harus kupenuhi."
Patih
Sawunggaling juga ikut menangisi keputusan Raja yang menginginkan kematian
Jayaprana hanya demi memiliki Layonsari. Dengan berat hati, sang Patih
mengambil keris tersebut dan langsung diarahkannya ke tubuh Jayaprana.
Sret …
Darah mengalir
deras dari tubuh Jayaprana, begitu segar dan menodai keris tajam itu hingga
berwarna kemerahan. Patih Sawunggaling masih tidak menyangka bahwa dia telah
melakukan hal ini.
"Ini
adalah yang terbaik, Jayaprana," ucap Patih Sawunggaling sambil membuang keris
tersebut ke semak-semak.
"Patih,
apa yang engkau lakukan? Mengapa engkau hanya melukaiku? Bukankah Raja
memerintahmu untuk melenyapkanku? Lakukanlah titah Raja, jangan kasihan padaku.
Aku rela mati demi kebahagiaan Raja."
Patih
Sawunggaling bersimpuh di hadapan Jayaprana, dia tidak tega jika harus membunuh
seorang yang tidak bersalah hanya karena cinta buta sang Raja. Seorang pemimpin
yang bijak, tidak sepatutnya membunuh orang yang berjasa besar bagi kerajaannya
hanya karena cinta yang dalam kepada seorang wanita.
"Raja saat
ini sedang buta atas cintanya kepada Layonsari, itulah yang membuatnya tidak
dapat melakukan sesuatu dengan benar. Darah ini pasti akan dikenalinya sebagai
darah yang keluar dari jantungmu karena ambisinya untuk melenyapkanmu.
Tunggulah di sini dan akan kubawakan Layonsari kepadamu, akan kuatur bagaimana
caranya agar Raja turut mengganggap Layonsari tiada. Semua untuk menembus
dosaku sebagai Patih yang tidak berguna dalam menyadarkan rajanya," ucap
Patih Sawunggaling kepada Jayaprana. Setelah mengatakan hal itu, kembali Patih
mengambil keris Jayaprana untuk dibawa kepada Raja.
Jayaprana tidak
habis pikir dengan apa yang telah terjadi, tetapi dia bersyukur karena masih
diberi hidup oleh Sang Hyang Widhi. Mengenai luka yang ada di tangannya, tidak
akan pernah diobatinya. Biar saja luka di tangannya menjadi bukti atas pengabdiannya
kepada sang Raja.
***
"Layonsari
tidak mungkin tiada. Layonsari seharusnya menjadi istriku. Bangunlah Layonsari,
kecantikanmu hanya untukku sepanjang masa. Jangan engkau tutup matamu seperti
itu."
Raja tidak
hentinya histeris ketika melihat Layonsari terkapar dengan keris yang menancap
di jantungnya. Darah Layonsari mengalir begitu derasnya, hingga membuat kulit
halus wanita itu menjadi berubah merah.
Raja tidak kuasa
melihat kepergian orang yang dicintainya. Keputusan melenyapkan Jayaprana,
menghantarkannya pada kehilangan yang bertubi-tubi. Tidak hanya harus merelakan
abdi setianya, Raja pun harus tertampar kenyataan karena tidak dapat memiliki
Layonsari sebagai permaisuri. Keduanya telah meninggal bersama, atas keegoisan
sang Raja.
Kematian
Jayaprana dan Layonsari membuat kewarasan Raja menjadi hilang, mulai dibunuhlah
semua anggota kerajaan yang berjenis kelamin laki-laki. Baginya semua laki-laki
di istana adalah Jayaprana yang harus dibinasakan, termasuk Patih Sawunggaling
dan para perbekel. Suasana di Kerajaan Wanakeling Kalianget pun menjadi tidak
terkendali dan setiap harinya memakan banyak korban. Tidak hanya itu, para
wanita yang ketakutan ketika dianggap sebagai Layonsari pun akhirnya dibunuh
karena dianggap tidak melakukan titahnya.
Beberapa rakyat
mengatur siasat untuk memasukkan Raja ke dalam penjara karena merasa terancam
jiwanya. Di dalam penjara, Raja terus mengingau untuk menikahi layonsari. Raja
yang arif dan bijaksana itu sekarang tidaklah lebih baik dari seorang binatang
yang meraung-raung.
Rakyat yang
tidak tahan dengan keadaan kerajaan yang kacau, memutuskan untuk meminta
perlindungan ke kerajaan sebelah. Permintaan perlindungan itu tidak hanya
memberikan tempat yang lebih layak terhadap rakyat Kalianget, tetapi juga
mengundang kerajaan-kerajaan lain untuk menyerang Kerajaan Wanakeling Kalianget.
Kini kerajaan mahsyur dengan raja yang bijaksana itu telah tiada dan berganti
menjadi sebuah daerah takhlukan yang gersang.
Dari tempat
lain, Jayaprana dan Layonsari hidup dengan bahagia tanpa ingin ikut campur lagi
dalam urusan kerajaan mana pun. Meski menyayangkan bahwa kerajaan yang pernah
sangat mereka cintai harus lenyap hanya karena cinta buta sang Raja kepada
wanita bernama Layonsari, tetapi ini adalah sebuah hukuman untuk kerajaan
tersebut agar lebih bijak lagi dalam melakukan titah sang Raja.
Meski Patih
Sawunggaling telah tiada, tetapi pengorbanannya kepada Jayaprana dan Layonsari
tidak akan lekang. Siasatnya untuk memanipulasi kematian Jayaprana dan
Layonsari, telah menyelamatkan dua insan itu dari badai kematian. Cinta buta
sang Raja dijadikan Patih sebagai celah untuk menyelamatkan Jayaprana dan
Layonsari dari bencana pernikahan, meski akhirnya harus mengorbankan hal yang
lebih besar.
Cinta sejati
memiliki jalan sendiri untuk bahagia. Tidak semudah itu diperdaya oleh tahta,
apalagi keinginan perorangan untuk memiliki cinta yang salah. Kebahagiaan
Jayaprana dan Layonsari adalah sebuah bukti bahwa untuk bahagia, haruslah
melewati pengorbanan yang berat. Dan sebuah kekuasaan, tidak selalu
mengantarkan pada kesuksesan.
***
Cerita
ini diambil dari cerita rakyat ‘Jayaprana dan Layonsari’ dari Bali, yang
sengaja diubah ending-nya oleh penulis untuk memenuhi tantangan pekan 4 ODOP
batch 7.
.
.
.
N.B.
Perbekel: Kepala
desa.
Bli : Panggilan
dari perempuan kepada laki-laki yang lebih tua darinya.
Gek : Panggilan
suami ke istrinya.
Terima
kasih
sedih suram jiwaaa :(
BalasHapusSangat suram 😆
HapusSediih kak '( cinta membutakan yaa :'(
BalasHapusIya, Kak, makanya harus pintar-pintar memilih Cinta
HapusSad ending huhu...piluuu
BalasHapusSedih ya Kak ,huhuhu
HapusAduh pesannya deep banget😢
BalasHapusMakasih, Kakak 😍
HapusGegara cinta😢😐
BalasHapusDuh, duh ceritanya menusuk jiwa kak.
BalasHapusMakasih, Kak 😍
HapusDuh, duh ceritanya menusuk jiwa kak.
BalasHapusEnd creditnya so sweet ... 😥
BalasHapusMakasih, Kak 😍 Ugh 😘
HapusCkckck.. raja yang arif bisa berubah hanya karena persaan cintanya (cinta buta) 😁
BalasHapusCinta buta emang menyesatkan Kak, wkwk
HapusSetuju sekali dengan pesannya 👍
BalasHapusToss kalo gitu Kak
HapusKeren...endingnya bagus..meskipun patihnya tiada
BalasHapusMakasih banyak Kak
HapusLagi lagi tentang cinta, selalu berbekas begitu mendalam, di hati setiap para perindu.. Nice, kak...
BalasHapusTerimakasih 😊
Hapus