Awalnya Aelvin berkeinginan untuk masuk jurusan Akutansi. Belajar menghitung laba-rugi, membuat jurnal pembayaran, dan menyeimbangkan neraca agar mendapat nilai surplus, merupakan hal yang menyenangkan untuknya Namun, semua perandaian itu lenyap karena kesalahannya sendiri. Sikap gegabahnya ketika memilih jurusan dan berakibat pada salah klik membuatnya harus masuk ke jurusan Sastra.
Akuntansi dan Sastra, keduanya adalah dua hal yang sangat bertolak belakang. Apalagi banyak orang yang memandang rendah jurusan Sastra, seakan-akan jurusan itu adalah jurusan yang tidak begitu bermanfaat.
Malam-malam Aelvin lewati dengan merenung, memikirkan bagaimana masa depannya nanti jika harus berkuliah di jurusan tersebut. Sempat dia berpikir untuk tidak berkuliah saja, tetapi tidak jadi dilakukannya.
"Jalani aja dulu, jangan gampang mikir buruk. Sekiranya kamu merasa enggak cocok, kamu boleh berhenti dan coba lagi tahun depan," kata Mama Aelvin ketika Aelvin bercerita tentang kegundahannya.
Mamanya benar, tidak ada untungnya menangisi hal yang sudah terjadi. Lebih baik coba menikmatinya, siapa tahu dia akan menyukainya. Aelvin merasa lebih baik setelah mendengar nasehat mamanya. Sebisa mungkin Aelvin menikmati apa yang ada di depan matanya, sekalipun dia belum terlalu suka. Aelvin percaya bahwa suatu ketika waktu akan mengubah semua ketidaksukaannya.
"Kalian tahun depan mau coba daftar kuliah lagi, enggak?" tanya Septi, salah satu teman kampusnya.
Tenggorokan Aelvin tiba-tiba kering ketika mendengarkan pertanyaan Septi, pertanyaan itu benar-benar membuatnya terkaget. Langsung saja Aelvin mengambil gelas es teh yang ada di depannya dan menyeruputnya. Segar, itulah yang Aelvin rasakan.
"Enggak tahu, lihat aja nanti. Penginnya sih gitu, tapi gue masih mikir-mikir. Lagian gue enggak pernah jujur kalo kuliah di jurusan Sastra, gue ngakunya jurusan Arsitek. Kesannya gimana gitu kalo ngaku kuliah Sastra," ucap teman Aelvin yang lainnya.
Aelvin hanya dapat bungkam sambil memasukkan bola bakso ke dalam mulutnya ketika temannya sedang asyik mendebatkan jurusan. Sejujurnya dia ingin ikut mengatakan bahwa dia belum terlalu menerima jurusan ini, tetapi lidahnya terasa kelu. Aelvin tidak suka berbagi apa yang mengganjal di pikirannya, dia hanya mempercayai beberapa orang saja untuk berbagi cerita. Dan sayang sekali, teman-temannya belum terlalu dia percaya.
"Eh, lo habis ini mau ke mana, Ael?" tanya Septi kepada Aelvin.
Aelvin tidak langsung menjawab, dia lebih dulu menelan bola bakso yang sedang memenuhi mulutnya. Setelah mulutnya benar-benar bersih, dia baru angkat bicara. "Mau ke perpustakaan, mau ngerjain tugas penyuntingan. Mau ikut?"
Septi hanya meringis sambil menggelengkan kepalanya. "Makasih deh, lo aja yang ke sana."
Aelvin menghela napasnya. Sudah biasa ketika dia mengajak temannya ke perpustakaan, tetapi ditolak oleh teman-temannya dengan alasan yang kreatif dan inovatif. Ada yang beralasan sedang pusing, wifi perpustakaan kurang cepet, pustakawannya bikin mata belekan, dan lain sebagainya.
Walau Aelvin tidak terlalu menyukai jurusannya, bukan berarti dia menelantarkan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa. Dia tergolong mahaiswa yang giat dalam mengerjakan tugas dan dia juga aktif berorganisasi.
Kaki Aelvin mulai dilangkahkan ke dalam ruangan perpustakaan, kali ini dia tidak ditemani siapa pun. Teman-temannya sudah pulang ke kos masing-masing, berkata ingin mengerjakan tugas sambil tiduran.
Aelvin mengisi daftar hadir digital dengan memasukkan Nomor Induk Mahasiswa-nya(NIM). Setelah itu, pustakawan memberikan kartu dan kunci untuk membuka loker. Aelvin berbalik setelah meletakkan tasnya ke dalam loker, matanya tertuju pads ruang baca di depannya. Langkah kaki Aelvin dilangkahkan gontai ke rak nomor 800, dia berniat mencari buku untuk dijadikan bahan referensi.
Aelvin membaca buku yang diambilnya tadi dan meneliti teknik kepenulisan dalam buku tersebut. Namun, baru 16 halaman dia membaca, Aelvin sudah menutup kembali buku tersebut. Dagunya diletakkan di atas meja, otaknya berputar ke mana-mana. Perbicaraannya bersama teman-temannya hari ini kembali membuatnya berpikir ulang tentang jurusannya.
"Kuliah jurusan apa, Dek?"
Aelvin seketika menolehkan kepalanya ke sumber suara sambil tersenyum. "Sastra, Mas."
Orang yang menanyai Aelvin sontak memutar bola matanya. "Hah? Sasta? Kamu mau kerja apa nanti?"
Terngiang kembali Aelvin pada pertanyaan tersebut. Saat itu, dia sedang duduk di bangku dekat kampusnya dan seorang laki-laki yang berumur lebih tua darinya duduk di sebelahnya. Sama seperti yang lain, dia menanyakan jurusan Aelvin dan tersenyum renyah ketika mendengar jawaban Aelvin. Aelvin berusaha bersikap biasa dan berkata bahwa dia menyukainya.
Tentu Aelvin tidak ingin menjadi munafik dengan mengatakan hal yang bertolak belakang dengan hatinya. Namun, saat ini dia sedang belajar untuk menyukai jurusannya. Tidak sepenuhnya salah, 'kan? Karena walau dia belum dapat menerima jurusannya dengan lapang dada, bukan berarti dia tidak akan dapat menerimanya. Aelvin hanya perlu waktu dan dia yakin akan ada hal yang dapat mengubah pandangannya tetang semua ini.
"Permisi, saya boleh duduk di sini?" kata seorang perempuan yang berdiri di belakang Aelvin.
Aelvin langsung menolehkan kepalanya ke arah belakang, mengamati seorang perempuan yang terlihat sudah dewasa. berdiri di belakangnya. Aelvin menggagukkan kepalanya lalu mengambil tas yang ditaruh di bangku sebelahnya. Aelvin mempersilakan perempuan itu duduk.
"Terima kasih."
Aelvin hanya membalasnya dengan senyuman. Setelah itu, dia mencoretkan tinta di atas kertas. Namun, dia tidak tahu harus menulis apa karena saat ini mood-nya sedang jelek.
"Kuliah jurusan apa, Dek?
Degh!
Pertanyaan itu kembali didengar oleh Aelvin. Mood-nya yang sedang tidak baik, seakan bertambah kacau karena pertanyaan menyebalkan itu kembali menggelitik telinganya.
"Sastra," jawab Aelvin dengan singkat.
Berbeda dari pemikiran Aelvin sebelumnya bahwa dia akan dihadiahi tatapan sinis ketika mengatakan apa jurusannya, perempuan tersebut malah mmberikan senyum semringah ke arah Aelvin.
"Wah, bagus dong. Saya juga alumni jurusan Sastra," kata perempuan tersebut. Lalu dia mengangkat tangannya dan mengarahkannya ke arah Aelvin. "Nama saya Ara. Nama kamu siapa?"
"Aelvin," balas Aelvin sekenanya..
Ara tidak lagi bertanya. Diam-diam dia memperhatikan raut wajah Aelvin dan menangkap ketidaksukaan dari raut wajah Aelvin.
"Bagaimana rasanya kuliah di jurusan Sastra? Menyenangkan?" tanya Ara sedikit berhati-hati.
Aelvin coba menghela napasnya sebelum menjawab pertanyaan Ara. "Iya, menyenangkan."
Ara terkekeh mendengarnya. "Syukurlah kalau begitu, berarti kamu tidak merasakan apa yang sempat saya rasakan dulu."
Kening Aelvin langsung berkerut ketika mendengar hal tersebut. Jujur saja dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ara.
"Dulu sewaktu kuliah, saya selalu bermalas-malasan. Saya merasa bahwa ini bukan yang saya mau, saya merasa tidak akan ada kesuksesan untuk saya. Lama saya berpikiran begitu, akhirnya keajaiban datang kepada saya. Ada orang yang menyadarkan saya bahwa pasti akan ada kesuksesan tanpa perlu kita rancang. Jiwa saya tergugah ketika itu, saya pun coba mengubah pola pikir saya dan merasa bangga karena dapat mejiwai apa yang telah menjadi takdir saya. Menyenangkannya, saya dapat sukses di umur yang sama, ketika teman-teman saya sedang kelimpungan mencari pekerjaan."
Aelvin terdiam mendengarnya. Kisah Ara mirip dengan kisah yang dialaminya, tentang kebimbangan menjalani masa perkuliahan yang tidak berlandaskan dengan hati. Diam-diam Aelvin merenung, mungkinkah ini jalan dari Tuhan agar Aelvin dapat menikmati apa yang sudah menjadi takdirnya?
"Kalau boleh tahu, apa yang Mbak lakukan untuk menumbuhkan rasa cinta itu? Bukankah itu hal yang sulit?" kata Aelvin yang mulai penasaran.
Ara menarik napasnya, dia mengingat apa yang membuatnya mencintai jurusannya. "Paksaan. Saya memaksa diri saya untuk mencintai jurusan saya, setiap harinya saya berusaha untuk melakukan hal yang saya bisa. Semua tugas saya anggap sebagai noda yang harus saya bersihkan dengan cara dikerjakan dan dibuang jauh-jauh dengan cara dikumpulkan. Setiap saya merasa penat dan ingin berhenti, saya kembali mengingat apa yang menjadi komitmen saya dan berusaha mecari cara lain untuk menghilangkan kepenatan, seperti menulis."
Hati Aelvin semakin tergugah mendengar penjelasan Ara, rasanya dia seperti menemukan gairah baru terhadap jalan hidupnya. Mungkin ini waktu yang tepat untuk menerima segala rencana Tuhan.
"Saya pamit dulu, ada hal lain yang harus saya lakukan," kata Ara sambil berdiri dari posisi duduknya.
Aelvin hanya membalasnya dengan senyuman. Dia mengamati tubuh Ara yang berjalan pergi meninggalkannya. Aelvin perlahan menarik napasnya, mungkin inilah waktu yang tepat unuk berubah.
Mata Aelvin dipincingkan ke arah buku dan kertas folio yang ada di hadapannya, ini adalah langkah awal unuk melakukan perubahan. Dia mengambil buku tersebut lalu membacanya lamat-lamat. Aelvin berusaha untuk menikmati bacaan tersebut dan perlahan dia merasakan perubahan. Kejenuhan yang tadi sempat dia rasakan tidak lagi dirasakannya.
Pertemuan Aelvin dengan Ara benar-benar menumbuhkan sugesti dalam otak Aelvin untuk menikmati apa yang sudah menjadi jalan hidupnya. Mengeluh pun tiada gunanya, karena hanya akan menimbulkan perasaan sesak. Mendengar perkataan orang meman penting, tetapi menatap apa yang ada di hadapan kita, tidak kalah pentingnya. Terus melihat ke belakang dan mempersetankan apa yag ada di depan kita, sama saja celaka.
Tidak penting memikirkan jadi apa kita nantinya, karena takdir dengan baik hati akan menuntun kita enjadi yang terbaik. So, jalani saja hidup kita dan nikmati setiap detik yang berputar. Jika kita sudah melakukan yang terbaik, tentu hal baik akan datang sendiri.
Posting Komentar
Posting Komentar