Seorang wanita menatap
lurus ke arah kamar berukuran minimalis secara sembunyi, netranya menangkap dua
anak kecil yang sedang tidur bersama dengan mata yang saling bertolak belakang.
Mereka mengeluarkan tawa. Namun, tawa itu tidak ditujukan untuk satu sama
lainnya. Melainkan, tawa tersebut hadir karena hal lucu dari benda pintar yang
ada di genggamannya.
Wanita yang tidak lain
bernama Wanda itu seketika mengembuskan napasnya melihat dua anaknya yang tidak
peduli satu sama lain karena telah dipengaruhi oleh teknologi milenial. Wanda
jadi ingat sewaktu dia kecil dulu, teknologi sangat jauh darinya. Bahkan ponsel
untuk memberitahukan orang tuanya bahwa dia sudah pulang pun tidak punya.
Malah-malah, Wanda pernah menunggu dua jam karena ayahnya tidak kunjung
menjemputnya.
Wanda rindu masa itu,
masa di mana tidak ada teknologi yang mampu membentangkan jarak antara mereka
yang dekat. Zaman dulu memang berbeda dari zaman sekarang. Bersifat
tradisional, tetapi mampu menumbuhkan sprotifitas. Lain dengan zaman sekarang
yang hanya mengenalkan anak kepada permainan online yang mengharuskan mereka
bermain dengan mesin.
"Apakah ini adalah
satu contoh kegagalanku dalam mendidik anak? Sejak mereka kecil, aku selalu
memberikan permainan buatan pabrik yang membuat mereka tidak mengenal permainan
tradisional. Apalagi di zaman milenial ini, teknologi semakin berkembang.
Mereka tidak membutuhkan teman dalam bermain, hanya membutuhkan ponsel pintar
dan semua yang mereka inginkan ada dalam genggaman," ucap Wanda sambil
berbalik dari pintu kamar anak-anaknya.
Saat ini Wanda merasakan
jarak yang tidak terlihat antara dirinya dengan anak-anaknya. Mereka jarang
sekali berkomunikasi karena Wanda harus kerja dan anak-anaknya lebih sibuk
dengan ponsel masing-masing. Hal ini jelas berbeda dari kehidupannya sewaktu
kecil, dulu orang tuanya selalu ada di rumah dan menyempatkan untuk menemaninya
belajar. Walau dulu perekonomiannya sangat sulit, tetapi Wanda tidak pernah
mengeluh. Dia bahagia dengan kehidupannya yang dulu, walau jauh dari teknologi.
"Nduk, bapak sama
ibu memang cuma ladang kecil untuk kita makan sehari-hari. Bapak sama ibu endak
punya sapi untuk dijadikan sebagai sapi perah yang bisa diambil susunya. Kita
orang miskin, Nduk. Endak punya apa-apa. Tapi, bapak mau ajarin kamu hidup
sederhana. Bapak yakin jika kamu besar nanti, kehidupan kamu bakal berbanding
jauh dari zaman serba susah ini. Tapi, bapak mau kamu ingat bahwa bagaimana
majunya zamanmu nanti, jangan pernah membuat zaman mengubah kedekatan.
Kekeluargaan itu penting, jauh lebih penting daripada harta. Jadi, bapak harap
kamu bisa mendidik anakmu, seperti cara bapak dan ibu mendidikmu."
Wajah Wanda berubah haru
ketika mengingat perkataan bapaknya dulu. Pembicaraan itu terjadi ketika
listrik padam dan dia hanya dapat menggunakan sentir agar dapat belajar. Jelas
sekali Wanda tidak nyaman belajar dalam kegelapan karena hanya diterangi dengan
sebuah sentir yang cahanya tidak seberapa, tetapi bapaknya memang memahami
ketidaknyamanan Wanda tanpa mendengarkan keluh kesah anaknya. Dia langsung
menepuk pundak Wanda dan memberikan kata-kata petuahnya.
Rasanya Wanda rindu saat
seperti itu, saat keterbatasan membuatnya lebih memahami hidup. Mendiang orang
tuanya memang hebat, mereka dapat menyelipkan pelajaran hidup yang selalu Wanda
kenang selama hidupnya.
"Anak-anak udah
tidur?" Suara berat tiba-tiba muncul dari arah belakang Wanda dan membuat
wanita itu menolehkan kepalanya secara refleks.
Wanda langsung tersenyum
melihat kepulangan suaminya. Dia berjalan menuju sang suami dan mencium
punggung tangan laki-laki itu. "Belum, mereka masih main game."
Timbul kekecewaan dari
wajah laki-laki itu ketika mendengar jawaban Wanda. Jam sudah menunjukkan pukul
sebelas malam, tetapi anaknya masih bermain dengan ponsel. Laki-laki itu jadi
was-was, takut besok anak-anaknya sudah dibangunkan.
"Udah minta mereka
matiin HP-nya?" Wanda menggeleng cepat. "Yaudah, biar aku yang suruh
mereka matiin HP. Takut besok susah dibangunin."
Wanda mengangguk. Setelah
itu, Ridho—suami Wanda—menuju pintu kamar anaknya untuk menyuruh mereka tidur.
"Mas," panggil
Wanda sambil berjalan ke arah suaminya. Wanda menggigit bibirnya. "Aku
rindu bapak sama ibu."
Ridho langsung menatap
wajah sendu Wanda dengan tatapan menguatkan. "Besok kita akan pergi ke
makam mereka."
Wanda menggelengkan
kepalanya. Gelengan kepala ini bukan untuk menyiratkan bahwa dia tidak mau
datang ke makan orang tuanya, Wanda sangat ingin. Namun, maksud dari perkataan
Wanda kali ini bukanlah karena dia ingin datang ke makam orang tuanya.
Melainkan, dia merindukan sosok orang tuanya yang mengajarkannya tentang
kesederhanaan.
"Besok hari libur,
Mas. Aku pengin kita semua mengosongkan jadwal dan bermain dengan anak-anak."
Ridho memutar bola
matanya, merasa ada yang ganjal dari perkataan Wanda. Otaknya dibuat berpikir,
Wanda sangat aneh hari ini. Mengapa dia menyuruh Ridho mengosongkan jadwalnya,
padahal setiap hari libur dia selalu mengajak anak-anaknya bermain bersama.
"Aku mau kita jauh
dari teknologi di setiap hari libur," kata Wanda melanjutkan kalimatnya.
Ridho semakin bingung
dengan Wanda. Jauh dari teknologi? Apa mereka bisa? Jauh dari teknologi adalah
hal sulit karena ini adalah zaman milenial yang memosisikan teknologi sebagai
barang primer yang harus dimiliki oleh semua orang.
"Kamu lagi ada
masalah di kantor, ya? Ada teman kantor kamu yang membuat kamu malas lihat HP?
Yaudah, enggak usah dipikirin. Besok kamu bisa main sama anak-anak dan
melupakan sejenak masalahmu di kantor," ucap Ridho yang tidak begitu paham
dengan apa yang Wanda inginkan.
Wanda kembali
menggelengkan kepalanya, bukan itu yang dia inginkan. Dia hanya ingin sehari
tanpa teknologi, menilik kembali masa lalunya ketika anak-anak tidak
bersentuhan langsung dengan teknologi.
"Aku lihat kita makin
jauh sama anak-anak, Mas. Kita terlalu sibuk sama rutinitas yang membuat mereka
mencari dunianya sendiri. Sekalipun kita ada waktu buat mereka, anak-anak malah
asyik sama gawainya. Aku cuma mikir, gimana jadinya hidup meraka kalau terus
bermain sama teknologi. Aku mau mengenang ketika kita hidup tanpa teknologi
seperti saat kita kecil. Apakah masih sama menyenangkannya, ya?" ucap
Wanda memperjelas perkataannya.
Ridho sedikit bergeming
memikirkan perkataan istrinya, bagaimana bisa Wanda berpikiran seperti itu.
Hidup sehari tanpa teknologi, itu sangat sulit dilakukan. Namun, jika
dipikirkan kembali, Ridho juga menginginkannya. Mungkin jauh dari teknologi
akan menciptakan sensasi baru dalam kehidupan mereka.
"Memangnya kamu
yakin kalau anak-anak bakal setuju jika kita meminta mereka jauh dari
teknologi?" tanya Ridho kepada Wanda. Rasanya anak-anak terlalu tebiasa
dengan teknologi, mereka tidak akan setuju dengan usulan ini. Bisa-bisa mereka
mengancam yang tidak-tidak jika dipaksa jauh dari teknologi.
"Kita harus bilang
pelan-pelan, mereka pasti mau. Ingat, Mas, kita orang tua mereka. Kita bukan
orang yang harus menuruti semua mau mereka. Kita harus mengarahkan mereka
kepada hal yang baik agar mereka tidak salah dalam memaknai makna hidup. Jadi,
aku mohon, tolong simpan semua gawai mereka untuk besok. Ini semua agar mereka
tidak terus menjauh dari kita dan mendewakan teknologi."
Wanda memberikan tatapan
memohon kepada Ridho, Ridho merasa tidak tega. Bagaimanapun, maksud Wanda
sangat baik. Dia ingin membuat anak-anaknya tidak begitu tergantung kepada
teknologi. Ridho pun setuju akan hal itu, membiasakan anak-anaknya untuk tidak
bergantung terhadap teknologi merupakan cara terbaik dalam mendidik anak.
"Oke, kita coba.
Kita akan coba membiasakan satu hari tanpa teknologi," ucap Ridho yang
disambut dengan senyuman dari Wanda.
Ridho dan Wanda pun
sama-sama masuk ke dalam kamar anak-anak mereka, disambut dengan teriakan rindu
dari sang anak. Mereka berdua hanya dapat membalasnya dengan senyum senang lalu
melanjutkan langkah kakinya ke arah kasur.
Wanda diam-diam mengamati
Ridho yang sedang memangku si bungsu dan mengajarkannya bermain game.
Wanda menghela napasnya, Ridho seakan lupa tujuan mereka masuk ke kamar ini.
Wanda mulai memutar otaknya, dia harus mengingatkan Ridho pada tujuan awalnya.
Dengan hati-hati, tangan Wanda bergerak ke arah pinggang Ridho dan mencubitnya.
Ridho terkaget, sementara Wanda malah memberikan tatapan tajam kepadanya.
"Sayang, ayah boleh
pinjem Hp-nya?" ucap Ridho kepada dua anaknya.
Wanda menghela napas lega
mendengar itu, akhirnya suaminya mengerti juga maksudnya.
Arfa dan Rana yang sedari
tadi memegang ponselnya pun menurut dengan memberikan benda pintar itu kepada
sang ayah. Wanda dan Ridho menurut, ternyata tidak terlalu sulit dalam
melalukan rencana ini.
"Sayang, kalian mau
enggak besok main permainan tradisional bareng ayah dan bunda?" Kali ini
Wanda yang membuka suara. Dia mengatakan hal ini dengan penuh hati-hati, agar
anaknya tidak cepat memberontak.
Sorak-sorai langsung
terdengar ketika Wanda mengatakan hal itu, rupanya Arfa dan Rana sangat rindu
berkumpul dengan kedua orang tuanya. Maklum saja, Wanda dan Ridho tipikal orang
tua sibuk yang jarang ada di rumah. Namun, mereka selalu berusaha mencium
kening anak-anaknya sewaktu pulang kerja karena tidak ingin Arfa dan Rana
merasa tidak dipedulikan.
"Arfa mau, Ayan,
Bunda. Ayo kita main, ayo kita jalan-jalan. Pokoknya apa pun itu asal sama ayah
dan bunda," kata si sulung Arfa, dengan semangat.
"Iya, Ayah, Bunda.
Rana juga mau main sama ayah dan bunda, udah lama kita enggak main bareng."
Wanda dan Ridho
berpandangan, saling melemparkan tatap untuk memberitahukan Arfa dan Rana
tentang rencana mereka. Tatapan Wanda lebih tajam, dari tatapan tersebut
terlihat jelas jika Wanda ingin Ridho yang memberitahukan kepada anak-anak.
Ridho menurut.
"Ayah sama bunda mau
ajak kalian main dengan permainan tradisional yang seru, kita akan buat
permainan tim di sini. Ada yang sekelompok sama ayah, ada juga yang sekelompok
sama bunda. Permainan ini pasti seru karena bakal diisi sama permainan pilihan
sewaktu ayah dan bunda masih kecil, kalian pasti suka. Tapi dalam permainan
ini, ayah punya aturan. Di antara kita berempat, enggak boleh ada yang mainan
handphone ataupun alat teknologi lain. Pokoknya kita bakal fokus main. Habis
itu, ayah sama bunda akan nemenin kalian belajar. Seharian waktu ayah dan bunda
akan dipake buat Arfa dan Rana," jelas Ridho kepada kedua anaknya juga
istrinya.
Wanda takjub mendengar
penjelasan Ridho tentang permainan ini, syukurlah Ridho sudah menyiapkan
penjelasan yang tidak akan membuat anak-anak mereka membangkang. Kalau
penjelasannya sekreatif ini, Wanda yakin bahwa Arfa dan Rana tidak akan
menolak. Mereka pasti setuju hidup satu hari tanpa teknologi.
"Asyik 'kan permainannya,
Sayang? Itu pasti lebih menyenangkan daripada main permainan online. Jadi, kita
semua besok enggak bakal pegang Hp, laptop, atau apa pun itu. Kita akan main
permainan tradisional dengan alat yang tradisional. Kalian mau, 'kan?"
tanya Wanda sambil melemparkan senyumannya.
Arfa dan Rana tampak
menimang, sesekali mereka berbisik dengam raut polos yang membuat Wanda dan
Ridho was-was. Bagaimana jadinya jika mereka tidak setuju?
"Arfa sama Rana mau,
Ayah, Bunda. Pokoknya kita mau main apa pun asalkan sama ayah dan bunda."
Wajah mendung Wanda dan
Ridho langsung berubah cerah mendengar jawaban anak-anaknya, akhirnya rencana
ini dapat terlaksana. Walau tidak yakin permainan besok akan seasyik yang ada
di bayangan mereka, tetapi mereka tetap berusaha. Setidaknya dengan cara kecil
ini, Wanda dan Ridho dapat mendidik anak-anaknya menjadi anak yang tidak
tergantung pada teknologi.
Tepat pukul delapan pagi
permainan dimulai. Baik Wanda, Ridho, Arfa, dan Rana, mereka mengikutinya
dengan bahagia. Apalagi Rana, dia terus cekikikan dengan permainan yang
menguras tenaga. Dimulai dari lempar sandal, engklek, lompat tali, dan petak
umpet. Lalu ada satu permainan yang mengharuskan mereka menemukan jawaban atas
teka-teki yang ada dan mencari bendera merah untuk memenangkannya. Semua sangat
seru dan berjalan dengan cara yang tradisional.
"Ayah, Bunda, Arfa
dapat bendera."
Wanda dan Ridho langsung
tersenyum mendengar teriakan Arfa yang berlari sambil membawa bendera. Segera
Ridho menghampiri anak sulungnya dan mengangkatnya tinggi sebagai tanda bangga
kepadanya. Tawa Arfa mengudara, dia terlihat bahagia dengan permainan
sederhana. Sementara Rana, dia digendong oleh Wanda. Gadis cilik itu sama
bahagianya dengan kakaknya.
Rencana Wanda benar-benar
berjalan seperti harapannya, hari ini mereka kembali mengulang permainan
tradisional yang sering dimainkannya sewaktu kecil tanpa dicampuri dengan
teknologi apa pun. Di zaman milenial ini, membiasakan diri tanpa teknologi
memang penting. Namun, jangan langsung memaksa anak-anak untuk melepaskannya.
Dekati mereka, beri pengertian, dan ciptakan alternatif. Mereka akan menurut
dan menjalankannya dengan riang.
Keren pesanya... Di rumahku juga gitu kak kalau lagi ngumpul sekeluarga, jangan harap ada yg megang hp
BalasHapusWahhh, keren sekali Kak. Aku kalo kumpul malah masih saling main hp 🙄
HapusTantangan masa depan bgt yak :')
BalasHapusIya, Kak. Menghadapi Revolusi Industri 4.0 😁
HapusJadi miris kalau lihat zaman sekarang yang seperti itu mesti cerdas ortunya
BalasHapusOrtu harus serba kreatif memang Kak
HapusKeren
BalasHapusTerima kasih, Kak 😍
HapusSetuju buanget... sesekali tanpa teknologi, membuat kita sadar kalau hidup kita penuh aneka warna...
BalasHapusNah, betul Kak. Seperti kembali pada masa dulu ya sebelum ada teknologi.
HapusAku pernah, sehari doang tpi. Wkwk
BalasHapusRasanya gimana tuh Kak?
HapusBagi gen millenial memang susah menceraikan tehnologi atau gawai, memang harus tarik ulur.. Joss kak tulisannya
BalasHapusTerima kasih, Kak. Tapi aku sendiri susah lepas dari teknologi 😁
HapusJauhkanlah anak-anak kami dari godaan menjadi generasi nunduk ya Allah. Semoga mereka bisa berkembang lebih baik lagi
BalasHapusAamiin, Kak. Semoga saja bisa.
Hapusaahh keluarga kecil bahagia. pengen eheheh.
BalasHapusMulai ciptakan keluarga kecil yg bahagia, Kak. Insyaallah bisa.
Hapus