Ketika mengiyakan ajakan temanku untuk masuk organisasi, aku berpikiran untuk menjadi anggota organisasi yang biasa saja. Bahkan aku memilih departemen yang menurutku paling jarang kumpul dan tentunya bersifat santai. Namun, ternyata bergabung dalam organisasi tidak semudah itu. Siapa sangka dalam organisasi tersebut, aku harus menjadi coordinator dalam kegiatan Ruang Rindu (Ruang Riset dan Diskusi). Ketika menjadi koordinator, ada banyak hal yang aku lalui. Mulai dari menghubungi dosen, mencari ruangan, mencari pembicara, hingga harus dikatai satpam karena tidak terlalu tahu mengenai alur peminjaman ruangan.
Awal ketika harus aktif organisasi, aku merasa berat. Sangat berat. Ikut organisasi bagiku hanya dapat menyita waktuku dan aku tidak suka itu. Apalagi dalam satu organisasi, tidak boleh hanya mengikuti program kerja dalam departemennya saja. Akan tetapi, harus ikut dalam proker departemen lainnya. Ketika itu, aku mengalami tekanan batin karena harus membagi waktu untuk banyak kepanitiaan. Niatnya yang awal ingin bersantai dalam organisasi, ternyata harus sibuk mengurus ini dan itu. Aku pun mulai menyadari bahwa ikut organisasi tidak boleh main-main, kita harus bertanggung jawab sepenuhnya dalam setiap hal yang ada di dalamnya. Bukan hanya waktu dan tenaga, ikut organisasi berarti harus bersedia mengeluarkan uang lebih.
Mentalku yang belum siap untuk berorganisasi, membuatku selalu merasa untuk keluar. Namun, tidak, takdir belum mengizinkanku melakukan hal tersebut. Bahkan saking biasanya dengan tekanan dalam organisasi, aku jadi semangat dalam melakukan tanggung jawab yang dibebankan kepadaku. Dari yang awalnya malas, aku harus mengatur sumber daya sedemikian rupa agar dapat mencapai target yang ditetapkan. Tak jarang pun aku merasa kesal jika ada teman organisasiku yang hilang timbul seenaknya, meski di awal aku melakukan hal yang sama. Semakin orang sadar akan tanggung jawabnya, maka semakin tinggi rasa kepedulian terhadap tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Aku merasa hal ini lucu, kehidupan berorganisasiku terasa berubah sangat berbeda dari awal aku memasuki organisasi. Bahkan temanku yang pertama memandangku sebelah mata, mulai datang kepadaku untuk saling bertukar pemikiran seputar organisasi. Aku yang mulanya merasa bahwa organisasi hanya menghadirkan lelah, mula membuatku merasa sebagai orang yang berguna.
Pada titik ini, aku merasakan bahwa sudah cukup untuk mencari pengalaman. Periode selanjutnya, aku tidak akan berorganisasi. Akan tetapi, takdir lagi-lagi meletakkanku pada keputusan yang membuatku merasa berat untuk meninggalkan organisasi. Rupanya dari sekian orang di departemenku, tidak ada satu pun yang ingin lanjut organisasi. Di sinilah aku merasa bimbang memikirkan keputusan apa yang aku ambil.
Apakah keluar adalah jalan terbaik? Bagaimana dengan departemen itu? Apa aku siap untuk melihat kehancuran departemen yang sangat aku sayangi?
Pemikiran tentang keputusan lanjut atau tidak, terus bergejolak di hatiku. Aku benar-benar memikirkan keputusan apa yang harus kuambil karena ini untuk keberlangsungan sebuah departemen penting di dalam organisasi tersebut. Namun, sisi egois untuk terlepas dari organisasi, sangat nyata aku rasakan. Bersamaan dengan rasa tidak ingin terjadi kehancuran karena sebuah departemen tidak memiliki penerus, keputusanku terus berubah di setiap harinya. Meski banyak pihak yang membujukku untuk lanjut dalam departemen tersebut, aku masih tidak dapat memutuskan. Aku masih tidak tahu mana yang terbaik untukku.
Singkatnya, aku sampai pada titik ketika harus menentukan sebuah keputusan besar. Semua harap tertuju padaku, seolah aku yang sedang memegang kendali. Pikiranku kalut ketika itu, sampaiberani menangis di depan banyak orang. Dukungan yang ditujukan kepadaku pun memaksaku untuk berkata ‘lanjut’. Ya, saat itu keputusanku memang lanjut. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, aku mengubah keputusan dengan meminta keluar dari organisasi, meski yang aku lakukan adalah hal tidak pantas dan membuat sebuah sistem dalam organisasi menjadi berantakan. Namun, sungguh, aku tidak bisa. Keputusanku untuk tidak lanjut adalah keputusan terbaik yang pernah aku ambil, melihat hatiku tidak lagi di organisasi tersebut.
Sebut saja ini tidak bertanggung jawab, tetapi akan lebih tidak tanggung jawab lagi jika aku memaksakan diriku bertahan pada lingkungan yang tidak kusukai sejak awal hanya karena perasaan tidak anak. Sebut saja aku sang organisatoris yang berjiwa apatis.
Pengalaman yang luar biasa kak... Semoga tetap semangat menebar manfaat ya...
BalasHapusSalam kenal dari Sapporo
Aamiin, terima kasih Kak. Salam kenal juga π
HapusEih.. Setidaknya pernah berjuang kak.. Semangatt
BalasHapusTerima kasih, Kak.
HapusSetidaknya sudah ikut berkontribusi, Kak...
BalasHapusSemangat✊✊✊
Terima kasih, Kak.
HapusSetidaknya pernah merasakan dunia keorganisasian, setidaknya pernah mempunyai pengalaman organisasi. Semangat kakπͺ
BalasHapusSemangat terus, nanti pasti akan menemukan organisasi yang sesuai. Menjadi alasan untuk terus berjuang. Saya juga gitu.
BalasHapusTerima kasih, Kak. Setidaknya pernah merasakan jadi seorang pengurus yang berguna buat dunia kerja nanti.
HapusOrganisatoris apatis punya jalannya sendiri untuk berguna dan bermanfaat untuk orang lain. Terbaikπ
BalasHapusPada dasarnya semua punya jalan masing-masing Kak π
HapusKalo baca kata "Apatis", langsung inget Soe Hok-gie.
BalasHapusSiapa itu, Kak ?
HapusSemoga itu keputusan yang terbaik
BalasHapusAamiin, Kak.
HapusSelamat berpetualang dalam pencarian kak..π
BalasHapusikuti kata hati saja
BalasHapusKata hati dikalahkan dengan tekanan ππ
HapusWah mantap ya pengalaman berorganisasinya, perjuangan mulai dari mals-malasan hingga mulai mencintai, tetapi terkadang memang semangat organisasi bisa berubah seriring pergantian generasi penerusnya, ya...
BalasHapusBener banget Kak. Di tahun kedua ini, udah mulai jenuh organisasi Kak.
Hapus