Memiliki keluarga yang bahagia dengan kasih sayang berlimpah di dalamnya
merupakan impian banyak orang. Namun, bagaimana jadinya jika dalam keluarga
tersebut terjadi keretakan yang berakhir pada kata pisah?
Beberapa
dari orang tua berpikir bahwa perpisahan adalah jalan yang terbaik dibanding mempertahankan
rumah tangga dengan rutinitas pertengkaran. Keluarga yang berantakan diibaratkan
sebagai ruangan yang pengap, berdebu, dan mengakibatkan sesak jika terus berada
di dalamnya. Jalan untuk kembali merasa hidup adalah keluar dari ruangan
tersebut dan mencari tempat yang menyejukkan. Akan tetapi, perginya seseorang
dari ruangan pengap itu mengakibatkan ruangan tersebut menjadi semakin tak
terurus dan keadaannya jauh lebih usang dari sebelumnya.
Ruangan pengap adalah gambaran betapa panasnya hawa rumah
ketika sedang terjadi percekcokan. Tidak hanya orang tua, anak pun akan merasa
tidak betah jika di setiap harinya harus mengalami keadaan yang demikian. Akhirnya
masing-masing pergi ke tempat baru, yang lebih menciptakan rasa nyaman. Namun,
sering kali rasa nyaman membuat seseorang terlena hingga tidak ingin kembali ke
tempat sebelumnya. Padahal setiap permasalahan hadir dengan berbagai solusi dan
menyingkir dari masalah bukanlah jalan terbaik.
Anak mana pun di dunia pasti menginginkan kasih sayang yang
utuh dari kedua orang tuanya. Memasuki usia remaja, anak-anak dibuat berpikir mengenai
apa yang ada di hadapannya. Pola pikir anak pada usia remaja belum terbentuk
secara matang untuk memahami pemikiran orang dewasa. Terbiasa dengan
pertengkaran kemudian dihadapkan pada kehilangan, membuat anak pada usia remaja
cenderung kalut. Hal yang memperparah keadaan adalah ketidakhadiran orang tua
dalam memberi dukungan morel kepada anaknya dan lebih memilih untuk
mementingkan ego masing-masing.
Tidak sembarang anak mampu menghadapi tekanan akibat pepisahan
orang tua. Kesedihan dan kesepian adalah hal yang wajar dialami manusia. Namun,
jika kedua hal tersebut datang di saat yang tidak tepat, akan berakibat pada
hal buruk.
Self injury adalah satu di antara sekian banyak
dampak yang ditimbulkan dari ketidakharmonisan keluarga. Self injury merupakan
keadaan ketika seseorang dengan sengaja menyakiti dirinya sendiri menggunakan benda
tajam atau benda tumpul sebagai pelampiasan atas kesedihan, rasa kecewa,
kesepian, amarah, stres berlebebihan, serta putus asa.
Tindakan self injury dapat dipicu oleh beberapa
hal, salah satunya ialah salah pergaulan. Melihat seorang teman melakukan
kegiatan self injury, dapat memicu teman yang lainnya melakukan hal yang
sama. Tentu tindakan tersebut tidak dilakukan secara langsung, tetapi dilakukan
pada waktu-waktu berikutnya ketika sedang dalam tekanan.
Seseorang
anak usia remaja sering kali melakukan self injury menggunakan silet,
dengan menyayat beberapa bagian di pergelangan tangannya. Seseorang yang
melakukan self injury akan merasa lega ketika melihat darah dan tidak
begitu merasakan sakit atas lukanya. Tindakan self injury diakui cukup
menjadi solusi dalam melupakan permasalahan yang ada, meski tidak dalam waktu
lama.
Tindakan self injury memang benar ada dan nyata
terjadi di masyarakat, penderita gangguan ini pun akan menutupi luka di
tubuhnya dengan berbagai cara agar tidak diketahui orang lain. Mereka yang
sudah pernah melakukan self injury, terbiasa melakukannya lagi sebagai
efek ketagihan. Keinginan untuk keluar dari zona ini jelas ada, tetapi tidak
semudah itu. Penderita self injury memerlukan perhatian lebih dari orang
di sekitarnya untuk kembali dalam keadaan normal. Orang tua perlu memperhatikan
kondisi hati anak serta mencari tahu apa-apa saja yang sedang dihadapi oleh
anak untuk menghindarkan anak dari tindakan self injury.
Tidak
menutup kemungkinan self injury menyerang anak yang memiliki keluarga
utuh karena tekanan dalam diri seseorang adalah sesuatu yang tidak tampak. Bukan
berarti jika seorang anak berperilaku sebagaimana mestinya, sedang dalam
keadaan yang baik-baik saja. Justru sebaliknya, mereka yang tampak bahagia,
adalah mereka yang menyimpan banyak luka.
Mungkin saja orang tua menceritakan kekesalan dan
kesedihannya kepada anak, hanya untuk mendapat dukungan morel dari sang anak. Akan
tetapi, kondisi seperti ini kerap memberi beban tambahan kepada anak hingga tak
jarang anak memikirkan persoalan yang dialami orang tua hingga terkena gangguan
pada kejiwaannya. Oleh karena itu, orang tua harus lebih memahami perasaan anak
dan mengupayakan kasih sayang yang cukup kepada anak-anaknya. Komunikasi yang
baik antara orang tua dan anak adalah kunci dalam menghindarkan anak dari
tindakan self injury.
*****
Nb.
*Cerita ini ditulis
berdasarkan pengalaman seseorang.
*Referensi:
Wah, seram juga
BalasHapusMemang seram, Kak 😳
HapusBeberapa kali menangani kasus ini... Ddduh hati rasanya ikut periih...😭
BalasHapusGa kebayang beberapa kali menangani ini, aku aja berhadapan sama orang self injury sekali udah panas dingin lihat darahnya Kak .
HapusWah..istilah baru tapi sering menemui anak-anak dgn perilaku seperti ini. Makasih infonya
BalasHapusSama-sama, Kak 😍
HapusOrang tua harus lebih banyak meluangkan waktu untuk memahami anak-anaknya ketimbang mendahulukan ego kepentingan dewasa.
BalasHapusBetul sekali, Kak. Tapi kebanyakan orang tua sibuk dan jarang bertukar pikiran sama anak
HapusMiris sekali :(
BalasHapusIyes bener bangeeet :')
BalasHapusinget gempi :(
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNgeri juga ya, mereka yang tampak bahagia mereka yang banyak menyimpan luka, mantul
BalasHapusIya, Kak. Itu yg aku tahu sih. Mereka yang ceria, biasanya punya luka yg lebih dari mereka yg tampak biasa. Semacam usaha ngibur diri.
HapusWaah dapat ilmu baru. Self Injury=menyakiti diri sendiri. Makasiii
BalasHapusBaru tau saya
Sama-sama, Kak.
Hapus