Ara. Hanya terdiri dari dua buah huruf,
tetapi selalu mampu memorak porandakan hatiku ketika namanya disebut. Sekilas tidak
ada yang sepesial darinya. Berambut panjang lurus, mungil, dan berketurunan Tionghoa.
Nada bicaranya yang khas Tionghoa, membuatku sering terkekeh ketika mendengar
suaranya. Berbeda sekali dengan suara Jawa-ku yang medok. Setiap kata yang dia
ucapkan pun sangat berarti, jelas saja karena Ara adalah orang yang irit bicara
dan irit senyuman.
Tiga tahun bersama, suka dan duka telah
mewarnai hubungan kami. Sedikit banyak aku mengenalnya, pandanganku tentangnya
pun sudah banyak berubah. Dia yang semula kukenal sebagai sosok yang angkuh,
nyatanya adalah sosok yang lembut dan baik hati. Dia menyayangiku, lebih dari
aku menyayangi diriku sendiri. Dia perhatian dan pengertian, serta selalu tahu apa
yang aku butuhkan. Bahkan ketika aku sedang tidak percaya kepada hidup, dia
yang mengembalikan kepercayaanku.
Bagiku, Ara sangat spesial. Lebih spesial
dari apa pun yang ada di dunia ini. Jika seluruh dunia harus ditukar dengan seorang
Ara, aku pun rela.
Akan tetapi, kisah manisku bersama
Ara hanya berjalan satu tahun. Ya, satu tahun. Sebuah tragedi yang menimbulkan
pertengkaran besar di antara kami, nyatanya telah membawa pergi sikap manis
Ara. Dia berubah banyak. Kasih sayangnya tidak seperti dulu, bahkan panggilan
kesayangannya untukku juga menghilang. Tentu aku sedih kala itu, tetapi tidak banyak
yang dapat aku lakukan. Perubahan adalah hal wajar dalam hidup manusia, asal
tidak ke arah yang sangat merugikan. Aku pun coba menerima, meski terkadang
rindu pada sosoknya yang dulu. Setidaknya dari segala perubahan itu, ada satu
yang belum berubah, yakni kebersamaan kami.
“Kak Ara, apa selama ini aku
merepotkanmu?” tanyaku padanya.
Ara hanya menjawab, “Kalau kamu merepotkanku,
untuk apa aku masih bersamamu. Lebih baik aku pergi meninggalkanmu dan
bersenang-senang dengan yang lain.”
Saat itu aku senang dengan
jawabannya, cukup melegakan. Walau lambat laun, karena seringnya pertanyaan itu
terlontar, Ara jadi kembali menjauhiku. Untung tidak lama, kami kembali
berbaikan setelah itu. Dan karena tidak ingin kembali kehilangannya, aku
mencoba untuk tidak lagi melontarkan pertanyaan tersebut.
“Aku sadar kita bagai dua sisi yang
berbeda, seperti langit dan bumi. Tidak seharusnya kita bersatu,” kataku di
kesempatan lain, ketika merasa begitu banyak perbedaan di antara kami.
Dan dengan enteng dia menjawab, “Bukannya
semua hal di dunia ini tercipta dengan banyak perbedaan? Engsel pintu,
sendok-garpu, serta siang-malam. Mereka sangat berbeda, tetapi perbedaan itu
yang menyatukannya.”
“Berarti artinya apa?”
“Artinya memang kita ditakdirkan
untuk bersama,” katanya dengan nada sedikit kesal.
Sikap Ara bagaikan bunglon. Kadang dia
baik, kadang menyebalkan, dan kadang pula dia bersikap seolah tidak
menginginkanku. Perbedaan-perbedaan yang mencolok di antara kami pun sering
membuatku bertanya-tanya, “Apakah dengan segala perbedaan itu, kami masih dapat
bersatu selamanya?”
Sayangnya tidak. Tepat di tiga tahun
pertemuan kami, hubunganku dan Ara semakin memburuk. Bahkan cara perpisahan
kami pun tidak masuk dalam nalarku. Semua terjadi begitu saja, tanpa dapat aku
perkirakan. Hilangnya dia setelah aku menyiapkan kejutan di hari ulang
tahunnya, tak kusangka mengantarkan kami pada hal menyebalkan ini. Kekecewaan yang
sengaja aku tunjukkan agar dia memahami isi hatiku, ternyata dibalas dengan hal
yang berkali menyakitkan. Kecewa tinggallah kecewa. Aku hanya mampu menuruti
apa mau takdir, termasuk keputusan untuk memisahkan kami.
Aku tidak pernah menyalahkan
pertemuan kami yang dibarengi dengan luka. Kalau dapat memutar waktu, aku pun
berharap tidak melakukan hal yang berakibat pada perpisahan kami. Aku sangat
merindukannya, setengah hatiku belum dapat menerima jalan takdir ini. Rasanya
aku ingin muncul di depannya dan meluruskan semua kesalahpahaman, tetapi aku
sadar bahwa itu hanya akan memperpanjang perpisahan yang lebih dahsyat. Hubungan
kami seperti kertas usang, begitu rapuh jika tertiup angin. Segala hal yang
membuatku merasa nyaman dengannya telah lama hilang, yang tersisa hanyalah
keegoisan untuk mempertahankannya.
Di ujung tulisan ini, aku
mengulumkan senyuman. Kami telah melakukan yang terbaik selama tiga tahun ini, saling
menyayangi tanpa batas. Perpisahan bukanlah akhir, mungkin inilah awal dari
perjalanan hidup yang baru. Namun, jika Tuhan masih berkenan untuk kembali
menyatukan kami, aku pun akan bersyukur.
“Kak Ara, apa yang terjadi dengan
kita saat ini benar-benar menyakitkan. Aku belum sepenuhnya rela melepasmu. Namun,
hatiku sudah telanjur lara. Dan kamu penyebabnya. Maafkan atas sikap kekanakanku
dan terima kasih telah setia menemaniku. Dari dulu, sekarang, sampai waktu akan
datang, kamu kakak terbaik yang pernah aku miliki. Semoga hidupmu jauh bahagia,
tanpa adik merepotkanmu ini. Salam sayang dan rindu dariku. Untukmu.”
yang sabar ya. turut berduka. menangislah tapi jangan lama-lama.
BalasHapusTerima kasih, Kak. Sedih memang, tapi air mata udah habis untuknya. Mungkin ini yang terbaik
Hapusjadi ikut sedih
BalasHapusJangan sedih dong, Kak. Kalo Kakak sedih, siapa yang mau hibur aku dong Wkwkw
HapusIkutan huhuhu
BalasHapus😄😄😄😄
HapusAra jangan pergi terlalu jauh...
BalasHapusSayangnya dia memang jauh dari dulu Kak, wkwk. Terpisah pulau dan sekarang terpisah kedekatan
Hapus:')
BalasHapus